Identitas dan Industrialisasi Gender: Mengapa Lelaki Dinomorsatukan?
Perdebatan tentang gender terus bergelombang. Kesetaraan tentang hak perempuan terhadap laki-laki menjadi bahasan utama yang mulai ramai sekitar abad 18-an. Berbagai pemikiran tentang kesetaraan dalam berbagai bidang pun terlontar. Mulai dari pendidikan, pekerjaan (ekonomi) dan , politik (kuasa). Namun, mereka rupanya belum bisa menjawab asal muasal mengapa pikiran kesetaraan ini muncul. Bahkan kaum feminis yang menunjukan dirinya sebagai kelompok yang ingin memperjuangkan hak kesetaraan kaum perempuan. Pertanyaan dasar mengapa ini menjadi absen ketika dibahas oleh Ivan Illich. Dialah seorang filsuf, sejarawan, dan antropolog yang berani membongkar apa dibalik keinginan atau kehendak para pemangku kepentingan dalam gender. Permasalahan tentang gender yang belum menemukan definisi pakemnya. Sebab, kata Illich, gender tidak bisa hanya dilihat dari jenis kelamin (sex). Illich berpendapat gender merupakan dua pembedaan. Yakni perilaku dan universal. Sehingga, dalam melihat gender Illich mempunyai klasifikasi menurut tempat, waktu, alat-alat, tugas, bentuk wicara, gerak- gerik, dan persepsi yang dihubungkan lelaki dan dihubungkan dengan perempuan. “Namun bukan hubungan antara lelaki dengan perempuan. Kedua identitas antara lelaki dan perempuan mempunyai perbedaan yang berhubungan.” Mengapa bisa menjadi demikian dimata Illich? Illich menyebutkan dalam bukunya berjudul Gender yang diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan Matinya Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Buku ini ditulis Illich selama dua tahun sejak 1980-1982. Ia berkeinginan untuk membuka tabir mengapa doktrin kesetaraan diperlukan. Apakah memang benar ada perbedaan hak antara hak laki-laki dan perempuan? Sekiranya Illich membuka ini dengan dua mitos modern yang disebutkan sebagai 1) leluhur seksual masyarakat dan 2) gerakan masyarakat kearah kesetaraan. Lalu siapakah yang menciptakan mitos tersebut? Kumpulan tulisan esai dari Illich ingin selalu mempertanyakan hal-hal yang ada dibelakangnya. Jawaban Illich ialah Masyarakat Industrial. Lagi-lagi pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Illich dengan memaparkan tentang sebuah rezim kelangkaan (scarcity) yang memperhatikan gender. Rezim langka itu disebut Illich sebagai gender kedaerahan (vernacular). Ketika rezim ini semakin langka dan kini pudar, maka kondisi tersebut memungkinkan masuknya kapitalisme dan pandangan tentang gaya hidup. Kedua hal tersebut selalu berkaitan erat dalam ‘gantungan jemuran’ yang disebut produksi industri. Maka reduksi makna tentang gender yang mestinya berkaitan dengan peran laki-laki maupun perempuan terhadap suatu daerah pun lenyap. Ketika dunia menghendaki adanya kemajuan zaman dengan industri. Maka, pendefinisian gender pun menjadi kata benda dari jenis kelamin.   Tepatnya, 1932 Kamus Bahasa Inggris Oxford mengartikan gender sebagai penggolongan kata benda yakni maskulin, feminin, atau netral. Padahal Illich melihat gender itu sebagai kata kerja yang mengasosiakan terhadap suatu tempat, waktu, alat-alat, tugas, bentuk wicara, gerak-gerik, dan persepsi yang dihubungkan lelaki dan dihubungkan dengan perempuan. Bersifat mengikat peran kedaerahan (asli) masing-masing lelaki maupun perempuan. Dari konsep gender kedaerahan atau vernacular inilah Illich secara berani menekankan gender ialah ketiadaan jenis kelamin. Karena kesadaran sebagai manusia (human). Illich menganggap adanya kepentingan industri tersebut sebagai eksploitasi ekonomi yang membelah kedua pembeda alami antara laki-laki dan perempuan. Meskipun Illich sebenarnya juga tidak menjelaskan detail pencarian kronologi fenomena yang mengerdilkan atau bahkan menjatuhkan derajad perempuan. Sehingga, laki-laki seolah menjadi arus nomor satu dalam berbagai kepentingan bidang. Esainya ini, Illich menuding kepentingan industri tersebut didukung oleh ‘pihak yang peduli’ terhadap isu kesetaraan perempuan. Pihak yang mendukung itu seperti PPB, universitas, Dewan Gereja sedunia, dan pemerintah. Dukungan yang diberikan para pemangku kepentingan tersebut akan semakin memperkuat ‘kegiatan’ ekonomi yang disebut dengan produksi. Kesimpulan tentang gender tersebut yang bermuara kepada pemaksaan perbedaan dengan dasar ekonomi politik. Artinya, silakan mendukung ekonomi non-seksis dengan syarat vernacular, atau kita terlibat menyokong pelestarian ekonomi seksis. Maka secara tidak langsung, doktrin tentang lelaki yang selalu diutamakan akan semakin lestari. Sebagai sejawan, Illich ingin melacak asal muasal ketaklukan ekonomis perempuan. Sebagai antropolog, Illich ingin memahami nuansa warna baru kekerabatan di mana ia terjadi. Sebagai fisuf, Illich ingin menjernihkan aksioma (pernyataan) yang diterima ‘kebenarannya’ belum pernah dibuktikan sebagai kebijaksanaan populer. Masyarakat tradisional, kata Illich, menjadi matang tanpa harus memenuhi syarat pertumbuhan yang dianggap langka itu atau kedaerahan. Namun kini lembaga pendidikan mengajarkan mereka bahwa pengajaran dan kompetensi adalah benda-benda langka yang harus jadi bahan perebutan antara laki-laki dengan perempuan. Jadi pendidikan berubah menjadi istilah yang artinya ‘belajar’ tentang kelangkaan. Sayangnya, semua contoh yang diajarkan dalam pendidikan ialah modernitas. Penulis : Rino Hayyu Setyo Editor : Faishal Hilmy Maulida

Leave A Comment

All fields marked with an asterisk (*) are required