Secara sederhana dan sepintas, kata “bahari” menampilkan slide dalam otak berupa laut,
kapal, nelayan, ikan, jaring, kail, dan seterusnya, sesuai kemampuan imajinasi. Sementara
dalam dunia akademis, istilah “bahari” digunakan untuk menyebut suatu gaya, varian ikhtiar
ekonomi, dan kurun budaya tertentu dari sebuah komunitas manusia.
Sejarah sudah banyak bercerita perihal kemahiran nenek moyang bangsa Indonesia
menaklukan samudera (bahrun, bahari-Arab: laut). Terlepas dari kebenaran ataukah bualan
yang telah disampaikan sejarah, tulisan ini hendak menampilkan salah satu karya
historiografi yang menawarkan beberapa hipotesis menuju inferensi tunggal; kehebatan
peradaban Nusantara masa kuno dalam rangka penjelajahan bahari.
Beberapa hipotesis yang ditawarkan Read antara lain:
1. Antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara mendominasi pelayaran dagang di Asia
2. Sebagian teknologi kapal jung dipelajari bangsa Cina dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan
sebaliknya
3. Zimbabwe adalah eksportir emas, yang besar kemungkinan menjadikan Sumatera dijuluki
svarnadwipa (pulau emas)
4. Penghuni Nusantara adalah masyarakat yang mengenalkan jenis-jenis tanaman baru,
teknologi, musik, dan beragam kesenian yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam
kebudayaan Afrika sekarang
Sebelum petak tulisan di bukunya penuh dengan pemaparan eviden-eviden; baik yang
arkeologis, antropologis, linguis, bahkan biologis sifatnya, Read menengarai bahwa
pendeskripsian yang jelas mengenai apa yang terjadi di pulau-pulau di kawasan Asia
Tenggara dan wilayah sebelah utara Lautan Hindia dari masa-masa awal hingga akhir
milenium pertama Masehi, adalah sangat penting sehingga hampir sepertiga dari tubuh teks
berbicara tentang hal ini.
Diawali gambaran teori migrasi (Polynesian Theory) para pemburu-pengumpul makanan
"Australo-melanesoid" dalam trek pulang-pergi dari Paparan Sunda-Wallace-Paparan Sahul-
hingga Kepulauan Polinesia kurun pleistosen akhir sampai 2.500 tahun silam, Read memulai
upaya penjajaran evidensi temuannya (hlm. 24-25).
Bahwa bangsa pendukung dan penyebar bahasa rumpun Austronesia ini dimungkinkan telah
merambatkan perahu-perahu bercadik (penyeimbang) mereka hingga di paruh selatan
India, dan menularkan kepintaran navigasi pada penduduk sekitar. Bahkan Read
berpendapat, bahwa keturunan Manusia Jawa (hlm. 18-20, Sebagai perbandingan teori
migrasi di atas, lihat D.G.E. Hall. 1988. Sejarah Asia Tenggara. (Cet.I). Surabaya:Usaha
Nasional., hlm. 6-8) ini adalah bangsa pelaut yang superior, dan menularkan peradaban
maritimnya pada India yang inferior (hlm. 29).
Banyak arsip sejarah yang mengisahkan tingginya permintaan barang-barang mewah produk
Timur untuk dibawa ke Barat pada masa awal Masehi, sebagaimana tertera dalam tulisan
para moralis Romawi Kuno; Elder Pliny, Claudius Ptolomy serta Tiberius, berupa ratapan
bahwa betapa wanita-wanita mereka menguras tenaga kaum lelaki untuk menebus sutra
Cina atau perhiasan India (hlm. 44, lihat pula Prajudi Atmosudirdjo. 1983. Sejarah Ekonomi
Indonesia dari Segi Ekonomi. (Cet. IV). Jakarta: Pradnya Paramita., hal 23, atau J.C. van Leur.
1967. Indonesia Trade and Society. W. van Hoeve-The Hague., hlm. 191).
Hal tersebut kurang lebih adalah efek sekaligus ekses dari terbentuknya jalur sutra darat dan
kemudian laut, yang membentang dari daratan Cina, hingga kawasan benua biru.
Sebagaimana diketahui, jalur darat yang membentang dari Tiongkok, Turkistan, sampai Laut
Tengah ini merupakan jalan purba yang sudah terkenal pada abad V SM. Memasuki abad
pertama masehi, mulai dikenal jalur niaga besar yang melalui laut, alias jalur sutra laut. Rute
yang menghubungkan Dunia Barat dan Timur ini melintasi Selat Malaka, India, kemudian ke
Laut Merah, atau memotong di Teluk Persia, dan sampai di Mediteran (Prajudi
Atmosudirdjo, hlm. 23).
Pada kawasan inilah, panggung sejarah bahari dunia terhampar, termasuk wilayah India-
Nusantara-Cina dimana Read meyakini deteminasi pelaut kita, alih-alih peran penting
armada laut Cina, sebagaimana pandangan dunia kearsipan tradisional. Preseden yang
dinilai mampu mendukungnya adalah talenta arung samudera yang dimiliki bangsa-bangsa
tertentu di Nusantara; seperti orang Bajo (Wajoo-Bajoo-Bajau-Baju) yang jejak eksistensinya
dapat ditemui dari Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Pulau Sumatra hingga Papua
sebelah timur, atau pelaut Bugis yang pola budaya sentrifugal-nya melahirkan nilai bahwa
pergi merantau keluar pulau adalah sama normalnya dengan menikah (94-103). Hal inilah,
yang menurut Read, merupakan latar sosial yang sempurna bagi para perantau dan
penjelajah, serta menjadi potensi dasar Sriwijaya membangun kekuatan maritimnya.
Balada Jalur Sutra (Laut) dibaca juga secara regresif oleh Read dengan pemaparan
ditemukannya komoditas khas Nusantara masa itu: cengkih berusia ±1700 SM di Efrat
Tengah, dan sebaliknya diketemukan juga sisa-sisa biri-biri alias kambing (fauna asli Timur-
Tengah) berusia ±1500 SM di Pulau Timor. Bagaimana fakta ini dijelaskan, yakni transport
barang dari dan ke negeri seberang? Read menawarkan teori polinesia di atas (hlm. 28-46).
Data-fakta yang lantas dijadikan eviden Read tadi merupakan prior knowledge demi
menjelaskan hipotesis pertama dan kedua.
Separuh Ulasan
Sebagian keunggulan historiografi Read adalah kekayaan fakta yang ditawarkannya tidak
melulu disandarkan pada sumber Cina, sebagaimana karya-karya lama yang biasa
dihidangkan di bangku kuliah sejarah klasik. Melainkan beberapa analisa dari ilmu dukung
(arkeologis, antropologis, linguis, biologis, hingga vulkanologis/ geohistoris) plus deretan
pendapat-pendapat sejarawan yang ia kumpulkan.
Misalnya, pendapat Jo Needham, ahli sejarah Cina kebangsaan Inggris, mengenai utusan
perdagangan Han (220 SM-200 M) yang berlayar mencapai Kerajaan Axumitte di Ethiopia.
Menurut Needham, utusan ini adalah pelaut ulung yang berasal dari Negara Ssu-Chheng-Pu,
sama dengan Tzeng-Po atau Zanj (hlm. 62-63). Belakangan, Read berpendapat bahwa
bangsa Zanj alias Zanaj, Zabaj, atau Zabag (Sumatera?) ialah imigran dari Nusantara yang
membentuk koloni di Madagaskar (hlm. 113).
Atau analisa David Keys, penulis “Catastrophe” yang berisi teori-teori mengagumkan
tentang rangkaian kejadian alam yang memungkinkan mengubah paras dunia serta corak
dan arahnya sejarah. Bahwa efek ledakan Krakatau (535/536 M) berujud pola cuaca
ekstrem, hingga wabah penyakit yang sanggup menular sampai di Pelusium dan delta Sungai
Nil, Kepulauan Comoro dan Madagaskar, atau menjangkiti banyak penduduk di Mediterania,
Persia, serta Cina; tentu memerlukan keterlibatan suatu jenis budaya bahari yang memiliki
pengalaman serta kecepatan gerak tinggi (hlm. 82-86).
Sementara, analisa dari aras biologi yang Read gunakan adalah paparannya mengenai
penyebaran tanaman asli Nusantara; pisang raja (Musaceae), ubi jalar air (Dioscorea alata),
dan keladi (Colocasia esculanta) di Afrika Timur dan Barat (hlm. 20, 237-247; Bab 15 Pisang
Raja dan Ubi Jalar).
Secara koheren, Read juga menambahkan analisa dari sisi budaya; seperti kemiripan alat
musik ganda dari Uganda dan Chopi Mozambik dengan gamelan Jawa, atau xilofon Siera
Leone dengan Kamboja (hlm. 204-222; Bab 13 Jejak Musik). Pun seni rupa suku Igbo-Ukwu,
Ife, Nok, Tada serta Benin yang konon kejeniusannya menyaingi suku Maya.
Beberapa Pembanding
Mengenai dominasi pelayaran dagang kapal-kapal Nusantara di kawasan Asia abad V-VII,
beberapa literatur mungkin tidak secara konfrontatif menyangkal hipotesis Read yang
pertama. Dalam salah satu buku babon mengenai sejarah Sriwijaya, Slamet Muljana
menandaskan bahwa Sriwijaya memegang peranan penting dalam lalu-lintas pelayaran dari
Kanton ke negara-negara (I-Tsing; chou) sebelah barat Selat Malaka (Slamet Muljana. 1981.
Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Idayu., hlm. 32). Asumsi ini, oleh Muljana
diambilkan dari beberapa keterangan I-Tsing dalam Memoir dan Record-nya (Lihat D.G.E.
Hall. Op. Cit., hlm. 42).
Sebagai pembanding hipotesis, A.B. Lapian, sejarawan yang dijuluki Nahkoda Sejarah
Maritim Indonesia ini menyatakan bahwa kapal-kapal Arab, Persia, dan India memanainkan
peranan penting dalam perdagangan dari dan ke Barat. Menurutnya, dari awal Masehi
hingga abad ke-10 terdapat dua pionir jalur perdagangan beserta pusat-pusat pelayaran
yang terdapat di kawasan laut Arab yang menuju ke Eropa. Secara terperinci, jalan yang
pertama ada di sebelah utara menuju ke Teluk Oman, melalui Selat Ormuz, ke Teluk Persia.
Jalan yang kedua adalah jalur yang tercipta melalui Teluk Aden dan Laut Merah, kemudian
sampai di Suez dan melalui darat melewati Kairo dan Iskandariah. Melalui dua jalur
pelayaran di atas, kapal Arab, Persia, dan India meniti perdagangan berantai, hingga ke
wilayah Cina. Armada Cina sendiri, menurut Lapian, baru sesudah abad ke-9 menggunakan jalur tersebut (Adrian B. Lapian. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan
17. Jakarta: Komunitas Bambu., hlm 40-42).
Sementara perihal orisinalitas Junk; terdapat beberapa pertimbangan untuk menentukan
dari manakah hasil budaya ini berasal. Namun, sebelum beranjak pada paparan eviden-
eviden yang diusung Read, terlebih dahulu grand theory yang menjadi tolok pikir buku ini
penulis ajukan. Secara tegas, Read menggunakan teori penyebaran (hlm. 217), atau istilah
antropologi-nya difusi; yakni jika diketahui ada orang-orang tertentu yang melakukan
perjalanan dari satu wilayah ke wilayah lain, dengan meninggalkan jejak peradabannya yang
superior pada wilayah-wilayah kunjungannya yang inferior.
Jika dibinerkan, oposisi dari difusi adalah teori penemuan independen, alias evolusi; yakni
bila manusia menghadapi situasi sulit yang menantang hingga bertumbuh kegiatan-kegiatan
kreatif untuk melakukan usaha-usaha tak terduga dalam bingkai proses “challenge and
response” (Mudji Sutrisno. Transformasi, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (Ed).
2003. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius., hal 67).
Namun, pada tubuh tulisan, Read nampak kurang menjaga konsistensi teoretiknya, dengan
memperbedakan Jung (Cina) dan Jong (Nusantara) (hlm. 67). Jung, muncul pada masa
Dinasti Han (II SM-III M), dan sudah sangat populer saat mengangkut Cheng Ho (Dinasti
Ming 1368-1644 M) dalam tujuh kali pelayarannya ke dunia barat pada 1405-1433 M, atau
87 tahun sebelum perjalanan Colombus (1492) (Lihat
http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_junk , serta Evan Hadingham. 2005. Ancient Chinese
Explorers dalam http: //www.pbs.org/wgbh/nova/sultan/explorers.html , atau J is for Junk
boat dalam http://www.fi.edu/fellows/fellow1/apr99/abc/j.htm ).
Dengan beban 1500 ton, panjang 120 meter, dan sanggup mengangkut 1000 penumpang,
Jung pada masa itu setara dengan Airbus atau Boeing sekarang. Sementara catatan tertua
untuk Jong, adalah saat dua peziarah Budha dari Cina menaikinya dari Sumatera menuju
India (VIII M); Jong memiliki beban 600 ton, panjang 40 meter dan ketebalan empat sampai
enam lapis kayu (6-8 inci). Deskripsi terakhir merupakan teknik yang menurut Read, (secara
difusif) dipelajari bangsa Cina dari pelaut Nusantara. Inferensi yang lahir adalah bahwa Jung
Cina (Junk/ Gorl) dan Jong Indonesia (Adjong-Djong/ Junco) awalnya muncul secara
independen (evolusi) dan lantas terjadi proses pembudayaan dari Jong yang superior pada
Junk yang inferior (indonesized).
Nampaknya hipotesis kedua dari Read (yang hanya) pada aspek ketebalan badan kapal,
nyaris meruntuhkan pandangan sejarawan Harry Julien Benda bahwa Nusantara adalah
penggalan surga yang mengalami berbagai proses silang budaya; indianized (di-India-kan),
arabicized (di-Arab-kan), dan di-Cina-kan (Sinicized) (Taufik Abdullah (pengantar) dalam
Azyumardi Azra. 2006. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan.
Bandung: Remaja Rosdakarya., hlm. vi-viii).
Apapun niat penerbit dalam menaruh deretan hipotesis pada punggung buku, terutama
pada nada dekonstruktif-nya, telah menempatkan buku berjudul “Perjalanan Bahari” ini di
almari perpustakaan Laboratorium Sejarah Sejarah. Selamat membaca, semoga tulisan ini
bermanfaat, dan memupuk semangat kawula sejarah untuk menambah khasanah sejarah
maritim di kawasan Malang. Selamat membaca. (*)
Dick-Read, Robert. 2008. Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika
(terj. The Phantom Voyagers, Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient
Times). Bandung: Mizan.
Penulis: Arif Subekti
Editor: Faishal Hilmy Maulida