‘Kekerasan dan Identitas’: Pengkerdilan Manusia Melalui Ilusi Identitas Tunggal
Baru membaca prakata karya Amartya Sen ini sudah membuat saya tertegun. Ia menarasikan bahwa munculnya konflik dan kekejaman yang terjadi di dunia ini dipupuk ilusi tentang adanya identitas tunggal dan tanpa pilihan. Saya menggarisbawahi dua poin, pertama adalah identitas tunggal dan kedua, tanpa pilihan. Peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia seperti menjadi aplikasi nyata dari ‘bahaya memaksakan identitas tunggal’. Memang, mau tidak mau dengan adanya identitas tunggal dan tanpa pilihan akan memunculkan identitas dominan yang kalau kata Amartya Sen hal itu bisa menenggelamkan afiliasi-afiliasi lainnya. Dengan tegas Amartya Sen mengungkap bahwa potensi konflik di dunia kontemporer ini adalah pra anggapan bahwa orang bisa secara mutlak dikategorikan berdasarkan agama atau pada budayanya saja. Kayakinan secara tersirat dalam klasifikasi tunggal ini membuat dunia menjadi panas membara. Klasifikasi umat manusia berdasarkan agama, kebudayaan, dan peradaban terkadang memang benar klasifikasi identitas-identitas ini mengabaikan identitas lain yang dimiliki manusia, seperti kelas, jenis kelamin, profesi, bahasa, bidang keilmuan. Menurut Sen, pemilahan pertama lebih memiliki kecenderungan konfrontatif dibanding pemilahan kedua yang merupakan kesatuan dari aneka macam klasifikasi majemuk yang membentuk dunia yang kita tinggali. Berbicara soal ilusi, ini merupakan kerangka yang menjadi gerbang pembuka pikiran Sen untuk membuka pikiran saya, begitu saya menafsirkannya. Identitas bisa memicu pembunuhan dan bisa menyebabkan orang mati sia-sia (hlm. 4). Fanatisme terhadap kelompok atau ketertarikan yang kuat pada suatu kelompok itu bisa memunculkan persepsi lain bahwa ada jarak dan keterpisahan dengan pihak lain. Contoh sebagai warga Indonesia, sebenarnya saya adalah orang Jawa yang beragama Islam, berbeda dengan mereka yang juga orang Indonesia tapi yang berasal dari suku Sunda, Batak, Betawi, Bugis dan lain sebagainya. Begitu juga agama, sebagai orang Indonesia bersuku Jawa dan beragama Islam berbeda dengan mereka yang bersuku Jawa tapi memeluk agama Kristen, Hndhu, Buddha atau lainnya. Kompleksitas semacam ini bisa memicu kekerasan apabila terjadi pemaksaan identitas tunggal. Adanya pengkotak-kotakan peradaban menjadi kritik Amartya Sen, terutama setelah terbitnya karya Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order. 2 Pendekatan Huntington ini dikritik oleh Sen, bahwa pangkal dari kategorisasi tunggal itu sendiri, bahkan sebelum persoalan ada atau tidaknya benturan itu mengemuka. Huntington membuat kontras tajam antara “Peradaban Islam”, Peradaban Hindhu”, “Peradaban Buddha”, dsb. Asumsi tentang adanya konfrontasi antar agama ini dicakupkam ke dalam pandangan yang dibangun secara serampangan mengenai keterpisahan yang dominan dan kukuh (hlm. 15-16). Dengan memilah pengelompokan ke dalam dunia Islam, dunia Hindhu, Buddha sesungguhnya daya adu domba yang terkandung dalam sistem klasifikasi itu telah dimanfaatkan secara implisit untuk menempatkan manusia secara tetap- pasti ke dalam deretan kotak-kotak tunggal dan kaku. Sementara pengelompokan lain, antara kaya dan miskin, antara mereka yang beda kelas dan pekerjaan, perbedaan pandangan politik, kebangsaan dan tempat tinggal tertentu semuanya semuanya terbenam oleh cara yang dianggap utama dalam memandang perbedaan antar manusia itu (hlm. 16-17). Amartya Sen memiliki kekhawatiran pandangan reduksionis semacam ini. Sorotan Sen juga tertuju pada makin menguatnya kecenderungan untuk mengklasifikasikan warga dunia berdasarkan agama. Rasa hormat terhadap orang lain lebih ditunjukkan dengan memuji kitab suci mereka ketimbang dengan memperhatikan beragam aktifitas dan pencapaian orang tersebut dalam bidang non keagamaan maupun keagamaan dalam suatu dunia yang interaksinya secara global. Dunia menurut Sen lebih dari sekedar federasi agama-agama terlepas dari keberagaman kita yang tak pernah seragam. Ia mencontohkan di Inggris, masyarakat multi etnis mendorong pembangunan sekolah Muslim, sekolah Hindhu, Sikh dan sekolah-sekolah jenis lain dengan biaya negara untuk melengkapi sekolah negeri Kristen yang sebelumnya sudah ada. Anak-anak kecil pun ditempatkan secara paksa dalam suatu lingkungan pertalian tunggal sebelum mereka punya kemampuan menalar beragam sistem identifikasi yang mungkin saling bersaing untuk menarik perhatian mereka. Kasus semacam ini juga lazim terjadi di Indonesia, tak jarang lingkungan pertalian tunggal semacam ini memicu konflik yang parahnya dilakukan oleh anak-anak dibawah umur. Klasifikasi berdasarkan agama atau peradaban tentu saja dapat menjadi distorsi yang memicu permusuhan (hlm. 19). Bagi Sen, agama seseorang tidak harus menjadi identitas eksklusif yang melingkupi seluruh diri orang tersebut. Menurut Sen, sikap keras untuk mendesak suatu identitas manusia yang tunggal dan tanpa pilihan tidak hanya akan membuat kita menjadi kerdil, melainkan akan membuat dunia menjadi lebih membara. Ilusi tentang identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memcah belah ketimbang beragamnya jenis-jenis klasifikasi yang mencirikan dunia tempat tinggal kita. Dewasa ini persoalan identitas menjadi hal yang paling disorot di Indonesia, reaksi terhadap politik identitas yang diusung beberapa partai dan tokoh politik berdampak pada pengotak-kotakan rakyat Indonesia. Terlebih sasaran ‘kampanye’ pembentukan hegemoni identitas tunggal itu menyasar anak-anak usia sekolah. Demi perolehan suara di kalangan muda millenial, kemajemukan identitas yang harusnya disusun atas daya dan nalar dikebiri oleh mereka yang memiliki kepentingan. Bayangan konflik horizontal begitu nyata, kekerasan atas nama identitas tunggal sudah beberapa kali terjadi, parahnya pemahaman terhadap adanya klasifikasi yang beragam itu minim dilakukan. Penulis: Faishal Hilmy Maulida Editor: Faishal Hilmy Maulida

Leave A Comment

All fields marked with an asterisk (*) are required