Hegemoni Kelas Menengah Terhadap Budaya Populer

Pertanyaan pertama yang bisa diajukan setelah membaca judul buku karya Ariel Heryanto (Identitas dan Kenikmatan. Jakarta: KPG, 2015) yang telah masuk cetakan ketiga ini antara lain, apa itu identitas? bagaimana bila disandingkan dengan sebuah kenikmatan? Pada beberapa kesempatan mungkin kenikmatan dalam benak khalayak umum bisa diartikan beragam, dari yang positif hingga negatif. Apakah kenikmatan berkaitan dengan seksualitas dan apa pula kaitannya dengan identitas? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itu akan cukup membuat para pembaca penasaran dengan isi buku karya Ariel Heryanto ini.

Sedikit perkenalan tentang siapa Ariel Heryanto? Ia merupakan guru besar School of Culture, History and Language, The Australian National University yang lahir di Malang, Jawa Timur tahun 1954, Ariel pernah menjabat sebagai ketua Southeast Asian Studies Centre, dosen senior dan Ketua Program Indonesia di The University of Melbourne, dosen senior di National University of Singapore dan dosen Pascasarjana di Universitas Kristen Satya Wacana.

Buku Identitas dan Kenikmatan ini berisi 8 Bab. Bab 1 Mengenang Masa Depan yang memuat pijakan awal penulis tentang gambaran umum buku ini. Bab 2 Post Islamisme: Iman, Kenikmatan, dan Kekayaan. Bab 3 Pertempuran Sinematis yang kurang lebih memotret bagaimana budaya layar tidak seindah yang nampak, tetapi ada perebutan kekuatan-kekuatan ideologis didalamnya. Bab 4 Masa Lalu yang dicincang dan dilupakan, memuat kajian historis yang dialogis bagaimana rekam jejak masa lalu media seolah dilupakan dalam arus utama kajian media saat ini.

Selanjutnya, Bab 5 Kemustahilan Sejarah, membawa pembaca pada perjalanan sejarah panjang Indonesia di ranah populisme wacana media oleh pemerintah setelah kemerdekaan hingga masa-masa Orde Baru. Bab 6 Minoritas etnis yang dihapus memberikan gambaran penyingkiran etnis Tioghoa dan diskriminasi yang menyertainya demi semua identitas tunggal yang dipaksakan oleh rezim untuk mempertahankan klaim anti-komunis yang disertai anti-tionghoa. Bab 7 K-Pop dan Asianisasi kaum Perempuan, menyuguhkan sebuah diskursus kajian yang baru tentang gelombang korea yang jauh lebih luas, beragam dan rumit. Selain itu juga bagaimana banyak orang Indonesia menemukan keasyikan dari kegiatan menjelajahi dan mengungkapkan sebuah identitas baru sebagai seorang Asia yang modern dan kosmopolitan.

Bab 8 adalah Dari Layar ke Politik Jalanan, pada bab ini Heryanto mencoba memperlihatkan sisi gelap wajah ganda teknologi media. Di satu sisi teknologi media baru memberdayakan sebagian kehidupan sosial sehingga mengelabui banyak pihak seakan-akan semua warga negara setara di hadapan hukum. Di sisi lain, teknologi yang sama dalam jalinan sosial yang khusus dapat membawa menuju ketidakbedayaan politik, memecah belah komunitas dengan cara yang tak terduga. Semakin cepat, mudah dan murahnya akses pada komunikasi yang intim dengan berbagai belahan dunia, orang lebih sering terasing dari lingkungan sekitarnya.

Menilik lebih dalam pandangan umum penulis buku ini dalam bab pertama buku, Ariel Heryanto mencoba mengkaji bagaimana sebagian besar penduduk Indonesia, khususnya kelas menengah muda perkotaan dalam merumuskan ulang identitas mereka pada dekade pertama abad 21. Gejala-gejala kemasyarakatan itu ditandai oleh beberapa hal seperti: peningkatan politik islami yang belum pernah sedahsyat belakangan, perdebatan publik perihal pelanggaran HAM di masa lalu, perpecahan yang berkepanjangan dan tak terdamaikan di kalangan elite politik, bangkitnya kekuatan ekonomi Asia, serta revolusi komunikasi digital yang disambut secara bergairah oleh kaum muda di seluruh dunia.

Gejala-gejala kemasyarakatan tersebut dipengaruhi oleh lowongnya kekuasaan yang terkuak sesudah berakhirnya rezim represif yang telah menikmati kekuasaan panjang. Karya Ariel Heryanto ini mengingatkan pada tulisan Alvin Toffler yang berjudul Pergeseran Kekuasaan yang memfokuskan pembahasan pada tumbuhnya sistem kekuasaan baru yang menggantikan sistem kekuasaan industri pada masa lalu (Toffler, Alvin. 1991. Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan di Penghujung abad ke-21. Jakarta: PT Pantja Simpati). Namun, Jika Toffler melihat secara global, Heryanto menyuguhkannya khusus pada kajian Indonesia kontemporer yang jarang dan mungkin luput dari perhatian sejarawan maupun sosiolog di Indonesia sendiri.

Pada dekade pertama abad ke-21 Indonesia seolah sempat menikmati periode yang singkat dengan penuh gegap gempita dan penuh optimisme dalam label reformasi, tetapi segera diikuti dengan kekecewaan, kebingungan arah, serta keputusasaan seperti yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini pasca Pemilu 2019.

Bukan tanpa sebab apa yang dirasakan saat ini setidaknya karena ekspansi industri media global maupun nasional yang belum pernah sehebat sekarang. Ditambah lagi dengan jejaring global media sosial yang kebanyakan menyuguhkan pertempuran idelogis untuk mengisi kekosongan posisi hegemonik kekuasaan sebelumnya yang penuh represi. Pertempuran itu menurut Heryanto banyak terjadi di arena budaya populer dalam berbagai bentuknya, dan dirancang dengan sasaran kaum profesional yang sedang berada di tengah-tengah karir mereka.

Kelompok sosial ini walaupun hanya merupakan bagian kecil dan tidak mewakili aspirasi keseluruhan penduduk Indonesia tetapi jumlah mereka terus bertambah, dan suara mereka begitu lantang di ruang publik. Hal ini yang menarik perhatian para elite politik dan ekonomi, karena bagaimanapun lebih mudah bagi orang yang berkuasa untuk berkomunikasi dengan kaum muda perkotaan dan kaum profesional dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya yang terdiri dari beragam kelompok etnis.

Kelompok ini walaupun juga sebenarnya beragam tetapi ada beberapa kesamaan yang menjadi daya tarik utamanya yakni: tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, selera kultural, pola konsumsi, dan ketertarikan terhadap persoalan-persoalan nasional dan internasional. Hal ini yang dalam beberapa tahun belakangan menurut hemat penulis menjadi gelombang ketiga (periodisasi yang diajukan penulis dan perlu mendapat masukan sebagai bahan diskusi lebih jauh adalah gelombang pertama: 1998 – 2009 pasca reformasi yang penuh gegap gempita dan penetrasi media sosial masih pada ranah handphone 2G dan 3G. Gelombang kedua 2009-2014 penggunaan media sosial dengan jejaring facebook dan twitter yang terbatas pada penggunaan smartphone skala kecil. Gelombang ketiga 2014-2019 dan seterusnya, dengan penetrasi 4G dan smartphone yang tidak hanya terbatas pada media sosial berbasis hape tetapi juga kecepatan akses berbagi video pendek hingga meningkatnya

creator youtube yang membuat buzzer di area politik pada gelombang kedua berganti dengan influencer yang digaet, semisal Atta Halilintar dan Ria Ricis yang nampak sebagai simbol identitas gelombang ketiga) arus utama pergulatan wacana di media layar Indonesia. Terdekat dan terkini adalah bagaimana kekuatan media sosial yang mampu membuat distraksi yang cukup signifikan dalam arena politik nasional dan internasional. Masih lekat dengan kasus Audrey seorang siswi yang di keroyok 12 siswi SMA dan terbukti tidak demikian adanya, atau hoaks-hoaks yang digunakan dalam kontestasi politik Pemilu 2019 yang membuat para warganet cukup gerah.

Heryanto tidak berhenti hanya memotret gejala sosial tersebut, yang menjadi buku ini begitu nikmat adalah sebuah studi sejarah politik dan budaya Indonesia. Walaupun hanya gambaran singkat tetapi cukup menarik untuk disimak karena inti dari pergulatan layar adalah perihal kekuasaan dibaliknya. Selanjutnya, tawarannya tentang survei umum dari kondisi media (mediascape) di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada masa peralihan abad yang menjadi perhatian utama buku ini.

Dia membandingkan sebuah kondisi saat ini dengan kondisi pada tahun 1950-an. Perbandingan tersebut dilihat dari sebuah kecenderungan umum yang ditampilkan, pertama, kecenderungan unturk tercerai-berai yang selama ini ditekankan oleh rezim represif akhirnya tampil ke permukaan, tingkat perselisihan yang mengemuka membuat banyak orang terkejut. Kedua, banyak kelompok sosial yang membentuk persekituan demi kepentingan bersama jangka pendek dalam rangka meruntuhkan dominasi rezim lama yang dianggap musuh sebelumnya berbalik pada masa dimana situasi musuh bersama telah lenyap. Sesudah itu tantangan baru muncul yakni memelihara persatuan sesama mereka agar bisa melangkah maju dan menikmati buah kemenangan mereka.

Kesejajaran ini bagi Heryanto perlu ditekankan dalam tiga alasan, yaitu perlunya memahami kondisi masa kini dengan perspektif historis yang memadai, perlunya mengenali masalah ideologi hiper-nasionalis yang telah menguasai imajinasi publik, dan perlunya membongkar amnesia publik Indonesia tentang sejarahnya sendiri yang kompleks. Perspektif historis untuk membantu agar terhindar dari kecenderungan penyamarataan berlebihan yang terjadi dalam memperhitungkan akibat dan nilai penting kejatuhan rezim.

Misal, kecenderungan perubahan yang dinyatakan sebagai pasca-1998 sebenarnya melupakan fakta bahwa perubahan telah dimulai beberapa tahun sebelum kejatuhan resmi Orde Baru. Penayangan film ‘Pengkhianatan G30 September/PKI’, dibolehkannya lagi penampilan barongsai pada perayaan Imlek dan transformasi pakaian muslimah dari tindakan perlawanan menjadi pernyataan busana diantara kaum kaya Indonesia. Namun juga masih banyak hal masih berlanjut, seperti lingkaran elite politik yang sama masih mendominasi pemerintahan pusat, dan masih digdayanya wacana anti-komunis. Selain itu, pada beberapa wilayah kehidupan publik, keruntuhan Orde Baru bagi Heryanto memiliki kecenderungan kembalinya Indonesia pada dekade 1950-an yang layak disesalkan dan luput dari kajian mengenai Indonesia kontemporer.

Sebagai perbandingan juga pada masa lalu, sentimen nasionalisme yang berlebihan masih terus berjaya di Indonesia saat ini. walaupun tidak lebih seru dibanding dengan suasana gegap-gempita ketika bangsa ini baru merdeka lebih dari setengah abad yang lalu. Sentimen ini nampak pada perayaan-perayaan publik secara resmi atau juga pada propaganda negara yang berlangsung dari atas dan juga tampil secara lumrah dalam kehidupan sehari-hari orang-

orang kebanyakan, bahkan pada saat-saat yang sangat pribadi ketika mereka menikmati waktu senggang dan hiburan. masih lekat dalam ingatan dan terasa pasca Pemilu 2019, gap antara kubu Nasionalis-Religius Pancasilais dengan kubu Khilafah yang menginginkan kembalinya sistem pemerintahan dan kenegaraan berbasis hukum Islam secara formal. Keberlangsungan Nasionalisme yang romantis seperti itu berjalan dengan baik tanpa langsung dibawah kendali dan sponsor pemerintah.

Kembali pada ajuan pertanyaan paragraf awal tulisan ini apa yang ingin diajukan Heryanto dalam bukunya tentang Identitas dan Kenikmatan ini. Pertama perubahan sosial yang menjadikan banyak pranata sosial yang lowong dan diisi dengan kekuatan sosial baru. Perubahan itu didukung dengan lingkungan media baru yang melibatkan media sosial yang masif dan lebih demokratis. Kajian tentang perubahan itu dimulai dari perhatian tentang budaya layar yang dipahami sebagai bagian dari pranata dan praktik sosial yang lebih luas yang disebut sebagai “budaya populer”.

Secara singkat budaya populer diartikan sebagai suara, gambar dan pesan yang diproduksi secara massal dan komersial (termasuk film, musik, busana dan acara televisi) serta praktik pemaknaan terkait, yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen, terutama sebagai hiburan. sifat budaya populer adalah mudah diakses dan langsung menarik perhatian orang banyak ketika diproduksi untuk dijual.

Karya dan praktik itu relatif murah dan menarik perhatian banyak orang dari segala ras, tempat tinggal, usia dan gender. Ketika disebarkan secara kolektif, karya dan perilaku ini terbuka lebar bagi orang dengan tingkat kecerdasan rata-rata dari berbagai latar belakang untuk bisa menikmati, menggunakan, berperan serta, memproduksi, atau mendistribusi ulang kepada yang lain. Kesederhanaannya, keakrabannya dan kemudahannya ketika digunakan menjadikan daya tarik “budaya populer” bagi banyak orang di masyarakat manapun. Melalui rumusan pemahaman di atas, budaya populer tidak memiliki daya tarik universal karena kebanyakan orang yang mengonsumsi dan memproduksi budaya populer disebut “kelas menengah” yang hidup di kawasan urban dan industrial. Bagi Heryanto, kelas ini bukanlah anggota kelompok elite dalam pengertian filosofis, estetis dan politis, dan bukan pula kaum proletariat atau kelas bawah yang baru.

Namun, seperti halnya dalam demokrasi, di dunia budaya populer, sebagian orang lebih setara dibanding lainnya. Kelompok-kelompok sosial yang lebih berorientasi elitis memandang rendah budaya populer, menghina, dan was-was, sementara banyak kelompok jelata bersikap mendua, sebagian bercita-cita untuk naik kelas sosial dengan mengikuti perkembangan terbaru dalam dunia budaya populer, sementara kelompok lainnya tetap saja merasa grogi atau tersinggung oleh hiruk pikuk budaya populer. Karena berbagai masalah seperti inilah maka Heryanto menyimpulkan bahwa secara fundamental budaya populer berwatak politis. (*)

 

Penulis : Eki Robbi Kusuma

Editor : Faishal Hilmy Maulida

Leave A Comment

All fields marked with an asterisk (*) are required